Oleh : Siti Fadhillah Hartanti
Pengantar
Pada abad pertengahan (500-1500) Negara
Barat atau Eropa mengalami kemunduran, karena serangan bangsa-bangsa Barbar ke
wilayah kekaisaran Romawi Barat.Baru bangkit kembali setelah agam kristen
katholik membangun kekuasaan kepausan di Roma, Italia. Hal ini yang
mengakibatkan ilmu pengetahuan bergerak stagnan di bawah ke pemimpinan paus di
Roma, karena harus mendapat izin dari Paus. Sementara itu terjadi perkembangan
di wilayah Timur Tengah setelah masa Umar Ibnu Khattab menjadi khalifah.
Wilayah yang di kuasainya mencakup Persia dan bekas daerah kekuasaan The Great
Alexander di masa lampau.
Apabila kita memulai bahasan Ilmu dari
sudut pandang Islam, dengan cara melihat sejarahnya yang berdasarkan Alqur’an
dan Hadist, yakni:
1. Jabir Ibnu Hayyan, adalah orang yang pertama
kali menggunakan metode ilmiah dalam kegiatan penelitiannya di bidang alchemie
yang kemudian metode ini di kenal oleh bangsa barat menjadi bidang ilmu kimia.
Dan nama Jabir pun diubah menjadi Geber.
2. Agama
islam sendiri pun menganjurkan ummatnya untuk belajar ilmu pengetahuan. Sesuai
dengan hadist Nabi yang di riwayatkan oleh Ibnu Uda : “Tuntutlah ilmu sampai ke
negeri China sekali pun”.
3. Hadist
nabi lainnya yang di riwayatkan oleh Ibnu Abdul Barr, yang berbunyi:
“Mencari ilmu adalah
kewajiban setiap muslim dan muslimah”. Menurut Al-Ghazali menuntut ilmu agama
hukumnya fardu a’in sedangkan menuntut ilmu duniawi hukumnya fardu kifayah.
Albert Einsten sendiri pun pernah mengatakan “ilmu tanpa agama adalah sesat,
sedangkan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”.
4. Dalam
hal berilmu tidak terlepas dari hal belajar dan membaca. Seperti yang tertulis
dalam surah Al-Alaq ayat 1. Yang artinya “Bacalah !”.
Pengetahuan dalam
islam mulai berkembang pada saat masa kekuasaan dinasti Abbasyiah. Seorang
dokter yang bekerja di istana khalifah Al Mansur (754-809) menterjemahkan
karya-karya Yunani seperti Hippokrates dalam bidang filsafat dan sejarah dan
bidang kedokteran karya Glaenius dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab.
Setelah itu, di
bawah pemerintahan khalifah Ma’mun II (786-833)
telah membuka zaman keemasan ilmu pengetahuan Islam, dengan mengumpulkan
para penterjemah dan pakar Yahudi, Kristiani, Persia untuk menterjemahkan
manuskrip-manuskrip berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab; mendirikan perpustkaan Bait Al Hikmah ( The House Of
Wisdom) dan balai penelitian.
Tradisi
intelektual Islam dalam perspektif filsafatnya cenderung menampilkan hubungan
erat antara intelek dengan spirit, seperti umunya pada pemahaman tradisional.
Dalam tradisi intelektual Islam, filsafat mempunyai kedudukan penting, dan para
filsufnya sama-sama berada dalam dunia spiritual seperti para pengkaji ilmu
yang cenderung berpandangan gnostik yang sejajar dengan para sufi. Filsafat
Islam sendiri telah lama mendorong kemajuan ilmu kalam, atau ilmu-ilmu lainnya
seperti astronomi, fisika, dan ilmu pengobatan. Para cendikiawan zaman khalifah
Al Ma’mun (813-833)menunjukkan kecenderungannya dalam keahlian yang elektik,
serba bidang,ya ahli filsafat,sosiologi, sejarah, fisika, astronomi, matematika
dan kedokteran. Salah satu tokohnya adalah Ibnu Khaldun
IBNU KHALDUN
Dikenal dengan nama Abu Zaid Abd Rahman
Ibn Khaldun, ia dilahirkan di Tunisia pada tahun 1332, dan meninggal di tahun
1406 di Kairo Mesir. Semasa hidupnya, Ibnu Khaldun mengenal dengan akrab
dinasti-dinasti Mariniyah di Maroko, Bani Al Walid, Dinasti Hafsiyah di
Tunisia, Nasiriyah di Granada dan Mameluk di Mesir. Pendidikan intelektualnyadi
dapatkan dari para cendikiawan yang
datang ke tempatnya. Selama 8 tahun ia belajar dari para ulama juga yang
berkunjung ke tempatnya. Kemudian Ibnu Khaldun masuk bekerja sebagai pengurus
rumah tangga di Istana Al Jazair, dan disinilah ia bisa belajar dari para
cendikiawan barat. Ibnu Khaldun memang jenius, Dia telah memeperlihakan
kejeniusannya dala berbagaibidang ilmu pengetahuan. Bidang-bidang ilmu
pengetahuan yang dikuasainya itu telah menjadikannya sebagai:
1. Pembina
yang pertama dalam ilmu ijti’ma,
sosiologi
2. Pemuka
dan pembaharu dalam ilmu sejarah, historiologi
3. Pemuka
dan pembaharu dalam ilmu autobiografi
4. Pemuka
dan pembaharu di bidang sastra dan karang mengarang
5. Pemuka
dan pembaharu di bidang pendidikan
6. Ahli
ilmu hadist (kitab musthalah dan rijal-hadist)
7. Ahli
ilmu fikih maliki
8. Ahli
dan ilmuwan berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya
Melihat betapa pentingnya pembahasan
tentang pribadi Ibnu Khaldun di tinjau dari aspek sebagai pembina pertama dalam
ilmu kajian sosiologi, maka kami akan membicarakannya.
1.
Ibnu
Khaldun Pionir Sosiologi
Dalam pembahasan sosiologi Ibnu Khaldun
telah mengkaji gejala-gejala sosial dalam lingkup masyarakat, dan ia juga
memberikannya istilah waqi’atul umran al
basyari . ibnu khaldun hanya memberikan gambaran tentnag gejala-gejala
masyarakat itu dalam pembukaan muqadimmah nya. Katanya:
“Hakikat
sejarah adalah catatan tentang masyarakat umat manusia; perubahan-perubahan
yang terjadi pada watak masyarakat tiu, seperti keliaran, keramahtamahan, dan
solidaritas sosial tentang revolusi-revolusi dan pemberontakan-pemberontakan
oleh segolongan rakyat melawan golongan yang lain dengan akibat timbulnya
kerajaan-kerajaan dengan bermacam tingkat dan kegiatan dengan tujuan untuk
mendapatkan cabang ilmu pengetahuan dan teknologi pada umumnya”.(Al Muqadimmah,
Al Bayan:261)
Dari contoh-contoh diatas secara singkat
dapat kami tarik kesimpulan dari definisi gejala-gejala masyarakat, yaitu
kaidah-kaidah dan kecenderungan umum yang di bentuk oleh masing-masing individu
satu masyarakat sebagai dasar dalam mengatur masalah-masalah sosial yang
terjadi diantara mereka, serta bisa juga hal ini mengakibatkan memperat
hubungan yang mengikat mereka satu sama lain, seperti solidaritas sosial.
Gejala-gejala in bisa di bagi ke dalam beberapa bagian menurut aspeknya
masing-masing:
1. Lingkungan
dalam rumah : mencakup hal-hal yang berhubungan dengan disiplin-disiplin yang
berlaku di rumah. Seperti masalah keluarga, aturan perkawinan, talak,
kekerabatan dan pewarisan.
2. Aturan
politik : yang mencakup masalah kedaulatan pemerintahan, kesatuan negara, hak
dan kewajiban warga negara, masalah diplomasi dengan negara lain.
3. Perekonomian
: yang mencakup masalah kekayaan yang ada dalam masyarakat serta menentukan
cara-cara memperolehnya, distribusi dan lainnya.
4. Ketentuan
hukum : dalam hal ini ketentuan hukum berperan sebagai pengemudi dalam masalah
tenggung jawab, balasan, hukuman/sanksi, dan seterusnya.
5. Moral
: yang membicarakan masalah perbedaan antara baik dan buruk, kelakuan mulia dan
hina, serta menentukan perilaku dan pola pikir macam apa sehingga mendatangkan
suatu yang sesuai dengan aturan yang tidak menyalahi adat isitiadat moral
masyarakat.
6. Agama
: yang berhubungan dengan masalah akidah, dunia sakral, dunia kudus,
metafisika, upacara-upacara keagamaan, ajaran-ajarannya.
7. Tatanan
bahasa : aturan tatanan bahasa biasanya mencakup masalah cara-cara
berkomunikasi antara individu satu sama lain dalam lingkup masyarakat luas,
tukar menukar pikiran.
8. Pendidikan
: mencakup masalah metode pengajaran yang di pakai oleh suatu masyarakat untuk
menciptakan model pola pikir generasi di masa yang akan datang.
Gejala-gejala social itu tampak dalam aturan-aturan,
undang-undang dan disiplin-disiplin yang stabil dan melekat sehingga menjadi
bagian dari syariat masyarakat. Seperti aturan-aturan politik, kekeluargaan,
perdata, aturan agama dan etika, yang kesemuanya di jalankan dengan tindakan.
Gejala-gejala social itu berbeda-beda menurut
perbedaan masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan hidup.gejala-gejala social yang
terdapat didalam satu masyarakat pun akan bahwasan nya evolusi social itu pada
suatu bentuk gerakan yang beruntun yang muncul dari masyarakat itu sendiri.
Dari tulisan dalam Muqadimmah,
kita dapat mengetahui bahwa Ibnu Khaldun mempunyai pemikiran yang jelas dan
terperinci mengenail keluasan aspek gejala-gejala social dengan cakupannya
terhadap berbagai macam gejala. Hemat kami dalam kitab tersebut juga di
jelaskan pengaruh letak geografis atau iklim terhadap gejala-gejala ini dan
masalah-masalah social lainnya. Pengertian inilah yang diistilahkan oleh tokoh
sosiologi barat, yakni Emile Durkhreim dengan la morpoholgie sociale (ilmu struktur masyarakat). Durkheim dan
para pendukungnya mengira bahwa merekalah orang pertama yang memberikan
perhatian terhadap ilmu sosiologi.
Mereka tidak mengetahu bahwa Ibnu Khaldun lah yang
mempelajarinya terdahlu sekitar 5 abad sebelumnya. Bahkan Ibnu Khaldun sendiri
juga menyinggung masalah-masalah lainnya, seperti etika, estetika, agama, hukum
perdata, dan bahasa1. Dengan pembahasan Ibnu Khaldun terhadap
gejala-gejala social, dia mempunyai tujuan hendak menarik hukum-hukum positif
yang merupakan kesimpulan dari karakteristik gejala social tersebut.
Bersama kemajuan berpikir manusia, keyakinan akan tunduknya gejala-gejalaitu
terhadap hukum-hukum tertentu semakin luas sedikit demi sedikit. Sehingga
keyakinan itu meliputi keseluruhan sisi alam dan semua gejala-gejala kehidupan.
Dengan adanya hukum itulah kemudian masnusia menciptakan ilmu-ilmu baru yang di
kenal denga ilmu alam (fisika), kimia, geografi, ilmu hayat, ilmu hewan, ilmu
tumbuh-tumbuhan.
Di tengah itu
pula, atau mungkin sebelumnya, manusia tertarik kepada hukum-hukum ukuran dan
hitungan yang menjadi dasar dari kuntitas. Dan dari hukum tersebutlah
berkembang menjadi cabang ilmu yang banyak, seperti, matematika, aljabar, ilmu
ukur, hitungan segitiga (versi baratnya adalah Phytagoras), dan lain sebagainya.
Tak seberapa
lama sesudah itu para ahli pun
dapat mengenal hukum-hukum yang menjadi dasar dari gejala-gejala jiwa individu
manusia, seperti gejala mengingat, menghayal, merasakan, mengambil kesimpulan,
dan keinginan (atau bias di katakan, ambisi). Dengan dasar hukum inilah kita
bisa mengenal lebih dekat ilmu psikologi atau ilmu jiwa.
Sedangkan tentang gejala-gejala social, belum ada
seorang pum sebelum Ibnu Khaldun yang mampu dan sanggup untuk menaarik
determinisme nya kepada hukum-hukum positif statis, seperti hukum-hukum yang di
jadikan dasar dari gejala-gejala alam dan matematika. Dengan demikian tak
seorang pun sebelu kedatangannya sanggup menyingkap hukum-hukum tersebut.
2. Ibnu
Khaldun : Evolusi Hukum Kehidupan Sosial Terhadap Gejala Sosial
Dalam suat umat
maupun suatu bangsa, posisi gejala-gejala social berbeda pada generasi yang
menjalankannya, Mustahil, jika kita bias mendapatkan dua bangsa yang memiliki 1
kesamaan diantaranya dalam system social dan cara-cara penerapannya. Hal ini
berlaku pada bidang-bidang politik, ekonomi, keluarga, kehakiman, dan
bidang-bidang social lainnya. Dan soal ini pun bisa behubungan dengan etika,
ukuran baik atau buruknya, utama dan hina. Sesuatu yang dianggap cakap atau
jelek. Banyak hukum positif semacam yang tidak sesuai lagi dengan satu generasi
dan diakui oleh generasi pertama. Inilah kelebihan Ibnu Khaldun. Dia begitu
tertarik dengan kenyataan ini sehingga menjadikannya sebagai dasar pembahasannya
dalam ilmu sosiologi. Dengan jelas ia mengatakannya sebagai berikut:
“Sesungguhnya ihwal dunia, bangsa-bangsa,
adat kebiasaan dan kepercayaan mereka tidak statis berjalan diatas satu getaran
dan aturan yang tetap. Setiap hari dan setiap zaman ia berubah-ubah dan
berpindah-pindah dari satu keadaan kepada keadaan lain. Sebagaimana yang
terjadi pada individu, waktu, kota, provinsi, tempat, zaman, negara.” ( Al
Muqadimmah, al bayan: 252).
Sosiologi membahas
tentang gejala-gejala yang berubah-ubah menurut perbedaan zaman dan tempat.
Oleh karena itu terpikul beban di pundak para ahli sosiologi. Sebab,
mempelajari ilmu social tidaklah seperti mempelajari ilmu-ilmu eksak lainnya
yang memang sudah seperti itu adanya, ilmu sosiologi dan ilmu social lainnya
adalah ilmu yang dinamis lebih sukar di banding membahas gejala-gejala yang
statis. Seorang sarjana sosiologi tidan hanya mencukupkan pembahasannya dengan
melukiskan gejala-gejala social dan menerangkan perubahan-perubahan yang
terjadi. Harus lebih daripada hal tersebut, termasuk tugasnya pula adalah
berusaha menemukan hukum-hukum dan kaidah dari evolusi perbedaan-perbedaan itu.
Oleh karena itu seorang ahli sejarah, ahli sosiologi, dan lainnya harus
berhati-hati, netral, dan obyektif didalam membandingkan kejadian yang lalu dan
kejadian yang kini sedang terjadi.
Seperti halnya
Ibnu Khaldun memberikan contoh kesalahan para ahli sejarah:
“ Suatu contoh yang menggambarkan kenyataan ini ialah cerita
tentang Al Hajjaj, yang penurut para penulis riwayat hidupnya adalah seorang
anak dari guru. Kini pekerjaan mengajar adalah suatu pekerjaan yang diangaap rendahan
oleh golongan bangsawan, dan guru-guru itu biasanya melarat, lemah,dan dari
keturunan non bangsawan. Tetapi selama dua dinasti pertama dalam islam,
pekerjaan mengajar adalah suatu kedudukan yang lain sekali. Dalam kenyataannya,
pekerjaan ini pada waktu sekali-sekali bukanlah merupakan pekerjaan yang
mendapat upah, tetapi lebih merupakan menyampaikan sabda syari’ yang belum di
ketahui banyak orang. Karena itu, maka hanya masyarakat islam yang paling mulia
dan menjadi penunjuk jalan bagi mereka sendiri yang mau melakukan jihad untuk
agama, diri sendiri(menuntut ilmu), negara. Apabila islam telah tegak dan
masyarakat islam telah berdiri di atas akar-akar yang kukuh, maka rakyat yang
jauh-jauh bisa belajar tentang ajaran-ajaran islam itu sendiri dari guru-guru
pribumi. Kemudian lembaga-lembaga islam menjadi berubah, karena banyak sekali
peraturan yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari diambil dari syari’at. Dengan
demikian, menjadi keharusanlah membukukan hukum syariat itu agar dapat di jaga
dari penafsiran-penafsiran yang salah. Pengetahuan tentang hukum itu kemudian
merupakan suatu keahlian yang harus di peroleh dengan belajar; dengan perkataan
lain pengetahuan tentang hukum mengambil tempatnya di antara
pertukangan-pertukangan dan pekerjaan yang mendapatkan upah/gaji. Sebaliknya,
orang termuka dan kepala-kepala suku semata-mata hanya mementingkan soal
politik dan negara, dan menyerahka soal belajar itu kepada orang-orang yang
senang kepadanya. Oleh karena itu, pekerjaan ini kemudian menjadi suatu
pekerjaan yang dianggap remeh oleh para bangsawan dan hanya harus di kerjakan
oleh kalangan rendahan saja, hingga dengan demikian para guru juga hanya di
lihat sebelah mata oleh orang kalangan atas lainnya. Belajar yang ada di maksud
kitab Al quran adalah tidak menjadikannya suatu profesi untuk mencari sumber
penghidupan, tetapi lebih dari itu.” (Al Muqadimmah, al bayan: 254-255).
3. Sosilogi
Sesudah Ibnu Khaldun dan Auguste Comte
Muqadimmah Ibnu Khaldun memang tak banyak orang yang
mengetahui nya. Pemikiran-pemikiran baru tentang gejala social Ibnu Khaldun
tampak melalui beberapa periode. Setelah empat abad dari wafatnya,
muqadimmahnya belum banyak diungkit-ungkit orang. Oleh karena itu semua
studi-studi social masih juga seperti semula sebelum adanya muqadimmah Ibnu
Khaldun. Keadaan seperti ini berlangsung sampai pertengahan abad ke delapan belas. Yang dimana pada waktu itu
muncul beberapa pembaharu sosiologi yang berangkat mengarah sejajar denga pemikiran-pemikiran
Ibnu Khaldun, namun tak mencapai tingkat yang sejajar dengannya. Seperti salah
satu sarjana di Italia yang bernama Vico dalam pembahasan filsafat sejarah,
dengan buku yang bejudul “Scien Zanouva” di tahun 1668-1744.
Pembahasan-pembahasan Vico pada saat itu banyak menghebohkan para sarjana
sosiologi dan bahkan banyak juga yang menyebutnya sebagai pembina pertama
sosiologi. Para sarjana yang mengikuti Vico diantaranya adalah, Lessing,
Herder, Emmanuel Kant, Condorcet, Voltaire. Obyek- obyek yang di tuliskan Vico
sebelumnya sudah mengarah terhadap pemikiran Ibnu Khaldun. Meskipun begitu banyak
perbedaan prinsipil yang ada pada pokok pikiran dua perbedaan utama, yaitu:
pertama, pembahasan dari Ibnu Khaldun mencakupi dari keseluruhan aspek dan segi
kehidupan masyarakat social (segi statis maupun perkembangannya). pembahasan
dari Vico sendiri tentang sosiologi atau filsafat sejarah yang dirintis hanya
membahas aspek evolusinya saja.
Kedua, bahwa pembahasan-pembahasan Ibnu Khaldun hanya
bergantung pada observasi dan membaca peristiwa-peristiwa. Sedangkan para
sarjana filsafat sejarah telah terpengaruh oleh teori-teori filosofis dan
pendapat yang telah di temukan sebelumnya. Mereka berusaha menundukkan
kenyataan-kenyataan sejarah kepada teori dan pendapat pendapat itu. Studi yang
telah di kaji Ibnu Khaldun lebih luas daripada pengertian ini, dengan isi yang
padat dan metode yang meyakinkan.
Dalam pembahasan ini di bagi menjadi beberapa pokok
bagian. Yakni :
A.
Ekonomi
Politis : Obyek pembahasannya adalah studi kekayaan untuk mencari dan menemukan
hukum-hukum gejala produksi kekayaan itu. Studi ini di lakukan di Perancis yang
di pelopori oleh perkumpulan Physiocrates (para sarjana fisika) yang di pimpin
oleh Doctor Quesnay, salah satu seorang doctor di masa Louis XV. dan pembahasan
ini di ikuti juga oleh Marquis de Mirabeau yang jago berpidato sehingga
menimbulkan semangat revolusi perancis pada saat itu.
B.
Filsafat
Hukum : Obyek pembahasannyatentang syariat-syariat poitif yang belaku di
berbagai bangsa dan zaman melalui studi analisa dan persamaan serta
perbandingan-perbandingan. Tujuan terpenting dari pembahasan ini adalah usaha
menemukan sumber-sumber hukum dan juga menghubungkan dengan gejala-gejala
social yang lain, serta usaha menentukan kadar intensitas pengaruhnya bagi
lingkungan suatu bangsa, dan aturan-aturan politik.
C.
Filsafat
Politik: Obyek pembahasannya adalah mengenai dasar-dasar aturan pemerintah negara yang ada di dalam kumpulan
social umat manusia. Sarjana termuka dalam bidang ini adalah Jean Jacques
Rousseau (1712-1778) dalam bukunya Du Contrat Social.
D.
Statistik:
Pembahasan-pembahasan terhadap angka atau numerik. Pembahasan ini berkembang
menjadi dua cabang ilmu, yakni : ilmu demografi dan statistic moral.
Cabang
ilmu pengetahuan ini pertama kali di ciptakan oleh Quetelet (1796-1874) dandi
sebut sebagai fisika social. Pembahasan Qutelet pun memberikan pengaruh kepada
sarjana-sarjana lainnya seperti Auguste Comte, dan Auguste Comte sendiri pun
mengakui Quetelet sebagai pembangun sosiologi.
Pembahasan
tersebut dengan segala macam cabang ilmunya memang mengarah kepada
tujuan-tujuan yang di pelajari oleh Ibnu Khaldun. Walau demikian, berbeda
dengan pembahasan Ibnu Khaldun. Ada dua pokok perbedaan diantaranya adalah:
Pertama, studi ilmu Ibnu Khaldun adalah studi yang utuh dan sempurna mencakup
keseluruhan gejala-gejala itu, serta menerangkan hubungan-hubungan yang
mengikat satu sama lain.
Kedua, pembahasan Ibnu Khaldun hanya berdasarka dari observasi dan membaca
peristiwa-peristiwa sejarah. Tujuannya tak lain, yakni tujuan ilmiah yang
bersih dan obyektif.
4. Faktor-Faktor
yang Mendorong Ibnu Khaldun dan Auguste Comte Menciptakan Sosiologi
Dalam menciptakan ilmu baru, Ibnu Khaldun dan Auguste
Comte mempunyai alasan yang berbeda satu sama lain.
Ibnu Khaldun, didorong oleh keinginananya untuk
membebaskan pembahasan sejarah dari berita-berita dan catatan palsu,
menciptakan suatu alat yang dapat di pergunakan oleh para sarjana sosiologi
untuk mendeteksi mana berita yang benar dan mana berita yang salah atau palsu.
Dan juga bisa menyatukan pikirannya menganalisa berita-berita yang benar.
Auguste Comte, dalam menciptakan sosiologi didorong
oleh keinginan untuk memperbaiki umat manusia dan membebaskan masyarakat dari
factor-faktor yang menimbulkan keguncangan dan kerusakan. Menurutnya, tak ada
jalan lain cara memperbaiki keadaan masyarakat yang kacau, kecuali dengan cara
memperbaiki pola pikir manusia tersebut.
Sumber :
As-Sakhawil jilid IV halaman 145. Wafi, Abdulwahid, Ali. 1985. Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya.
Jakarta: PT GrafitiPress. . Al Muqadimmah,
al bayan: 254-255. . Al Muqadimmah, al bayan: 252. Al Muqadimmah, Al Bayan:261. W, Rochiati. 2015. Buku Ajar Filsafat Ilmu Relevansinya
dengan Pendidikan IPS. Bandung: Rizqi Press.
oke trimakasih,,
ReplyDelete