Sunday, December 27, 2015

Kemajuan Ilmu Dalam Islam (Perbandingan Pemikiran Ibnu Khaldun dan Auguste Comte)

Oleh : Siti Fadhillah Hartanti

Pengantar
Pada abad pertengahan (500-1500) Negara Barat atau Eropa mengalami kemunduran, karena serangan bangsa-bangsa Barbar ke wilayah kekaisaran Romawi Barat.Baru bangkit kembali setelah agam kristen katholik membangun kekuasaan kepausan di Roma, Italia. Hal ini yang mengakibatkan ilmu pengetahuan bergerak stagnan di bawah ke pemimpinan paus di Roma, karena harus mendapat izin dari Paus. Sementara itu terjadi perkembangan di wilayah Timur Tengah setelah masa Umar Ibnu Khattab menjadi khalifah. Wilayah yang di kuasainya mencakup Persia dan bekas daerah kekuasaan The Great Alexander di masa lampau.
Apabila kita memulai bahasan Ilmu dari sudut pandang Islam, dengan cara melihat sejarahnya yang berdasarkan Alqur’an dan Hadist, yakni:
1.       Jabir Ibnu Hayyan, adalah orang yang pertama kali menggunakan metode ilmiah dalam kegiatan penelitiannya di bidang alchemie yang kemudian metode ini di kenal oleh bangsa barat menjadi bidang ilmu kimia. Dan nama Jabir pun diubah menjadi Geber.
2.      Agama islam sendiri pun menganjurkan ummatnya untuk belajar ilmu pengetahuan. Sesuai dengan hadist Nabi yang di riwayatkan oleh Ibnu Uda : “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China sekali pun”.
3.      Hadist nabi lainnya yang di riwayatkan oleh Ibnu Abdul Barr, yang berbunyi:
“Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim dan muslimah”. Menurut Al-Ghazali menuntut ilmu agama hukumnya fardu a’in sedangkan menuntut ilmu duniawi hukumnya fardu kifayah. Albert Einsten sendiri pun pernah mengatakan “ilmu tanpa agama adalah sesat, sedangkan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”.
4.      Dalam hal berilmu tidak terlepas dari hal belajar dan membaca. Seperti yang tertulis dalam surah Al-Alaq ayat 1. Yang artinya “Bacalah !”.
Pengetahuan dalam islam mulai berkembang pada saat masa kekuasaan dinasti Abbasyiah. Seorang dokter yang bekerja di istana khalifah Al Mansur (754-809) menterjemahkan karya-karya Yunani seperti Hippokrates dalam bidang filsafat dan sejarah dan bidang kedokteran karya Glaenius dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab.
Setelah itu, di bawah pemerintahan khalifah Ma’mun II (786-833)  telah membuka zaman keemasan ilmu pengetahuan Islam, dengan mengumpulkan para penterjemah dan pakar Yahudi, Kristiani, Persia untuk menterjemahkan manuskrip-manuskrip berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab;  mendirikan perpustkaan Bait Al Hikmah ( The House Of  Wisdom) dan balai penelitian.
Tradisi intelektual Islam dalam perspektif filsafatnya cenderung menampilkan hubungan erat antara intelek dengan spirit, seperti umunya pada pemahaman tradisional. Dalam tradisi intelektual Islam, filsafat mempunyai kedudukan penting, dan para filsufnya sama-sama berada dalam dunia spiritual seperti para pengkaji ilmu yang cenderung berpandangan gnostik yang sejajar dengan para sufi. Filsafat Islam sendiri telah lama mendorong kemajuan ilmu kalam, atau ilmu-ilmu lainnya seperti astronomi, fisika, dan ilmu pengobatan. Para cendikiawan zaman khalifah Al Ma’mun (813-833)menunjukkan kecenderungannya dalam keahlian yang elektik, serba bidang,ya ahli filsafat,sosiologi, sejarah, fisika, astronomi, matematika dan kedokteran. Salah satu tokohnya adalah Ibnu Khaldun

           

IBNU KHALDUN

Dikenal dengan nama Abu Zaid Abd Rahman Ibn Khaldun, ia dilahirkan di Tunisia pada tahun 1332, dan meninggal di tahun 1406 di Kairo Mesir. Semasa hidupnya, Ibnu Khaldun mengenal dengan akrab dinasti-dinasti Mariniyah di Maroko, Bani Al Walid, Dinasti Hafsiyah di Tunisia, Nasiriyah di Granada dan Mameluk di Mesir. Pendidikan intelektualnyadi dapatkan dari  para cendikiawan yang datang ke tempatnya. Selama 8 tahun ia belajar dari para ulama juga yang berkunjung ke tempatnya. Kemudian Ibnu Khaldun masuk bekerja sebagai pengurus rumah tangga di Istana Al Jazair, dan disinilah ia bisa belajar dari para cendikiawan barat. Ibnu Khaldun memang jenius, Dia telah memeperlihakan kejeniusannya dala berbagaibidang ilmu pengetahuan. Bidang-bidang ilmu pengetahuan yang dikuasainya itu telah menjadikannya sebagai:
1.      Pembina yang pertama dalam ilmu ijti’ma, sosiologi
2.      Pemuka dan pembaharu dalam ilmu sejarah, historiologi
3.      Pemuka dan pembaharu dalam ilmu autobiografi
4.      Pemuka dan pembaharu di bidang sastra dan karang mengarang
5.      Pemuka dan pembaharu di bidang pendidikan
6.      Ahli ilmu hadist (kitab musthalah dan rijal-hadist)
7.      Ahli ilmu fikih maliki
8.      Ahli dan ilmuwan berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya


Melihat betapa pentingnya pembahasan tentang pribadi Ibnu Khaldun di tinjau dari aspek sebagai pembina pertama dalam ilmu kajian sosiologi, maka kami akan membicarakannya.

1.      Ibnu Khaldun Pionir Sosiologi

Dalam pembahasan sosiologi Ibnu Khaldun telah mengkaji gejala-gejala sosial dalam lingkup masyarakat, dan ia juga memberikannya istilah waqi’atul umran al basyari . ibnu khaldun hanya memberikan gambaran tentnag gejala-gejala masyarakat itu dalam pembukaan muqadimmah nya. Katanya:
“Hakikat sejarah adalah catatan tentang masyarakat umat manusia; perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat tiu, seperti keliaran, keramahtamahan, dan solidaritas sosial tentang revolusi-revolusi dan pemberontakan-pemberontakan oleh segolongan rakyat melawan golongan yang lain dengan akibat timbulnya kerajaan-kerajaan dengan bermacam tingkat dan kegiatan dengan tujuan untuk mendapatkan cabang ilmu pengetahuan dan teknologi pada umumnya”.(Al Muqadimmah, Al Bayan:261)
Dari contoh-contoh diatas secara singkat dapat kami tarik kesimpulan dari definisi gejala-gejala masyarakat, yaitu kaidah-kaidah dan kecenderungan umum yang di bentuk oleh masing-masing individu satu masyarakat sebagai dasar dalam mengatur masalah-masalah sosial yang terjadi diantara mereka, serta bisa juga hal ini mengakibatkan memperat hubungan yang mengikat mereka satu sama lain, seperti solidaritas sosial. Gejala-gejala in bisa di bagi ke dalam beberapa bagian menurut aspeknya masing-masing:
1.      Lingkungan dalam rumah : mencakup hal-hal yang berhubungan dengan disiplin-disiplin yang berlaku di rumah. Seperti masalah keluarga, aturan perkawinan, talak, kekerabatan dan pewarisan.
2.      Aturan politik : yang mencakup masalah kedaulatan pemerintahan, kesatuan negara, hak dan kewajiban warga negara, masalah diplomasi dengan negara lain.
3.      Perekonomian : yang mencakup masalah kekayaan yang ada dalam masyarakat serta menentukan cara-cara memperolehnya, distribusi dan lainnya.
4.      Ketentuan hukum : dalam hal ini ketentuan hukum berperan sebagai pengemudi dalam masalah tenggung jawab, balasan, hukuman/sanksi, dan seterusnya.
5.      Moral : yang membicarakan masalah perbedaan antara baik dan buruk, kelakuan mulia dan hina, serta menentukan perilaku dan pola pikir macam apa sehingga mendatangkan suatu yang sesuai dengan aturan yang tidak menyalahi adat isitiadat moral masyarakat.
6.      Agama : yang berhubungan dengan masalah akidah, dunia sakral, dunia kudus, metafisika, upacara-upacara keagamaan, ajaran-ajarannya.
7.      Tatanan bahasa : aturan tatanan bahasa biasanya mencakup masalah cara-cara berkomunikasi antara individu satu sama lain dalam lingkup masyarakat luas, tukar menukar pikiran.
8.      Pendidikan : mencakup masalah metode pengajaran yang di pakai oleh suatu masyarakat untuk menciptakan model pola pikir generasi di masa yang akan datang.

Gejala-gejala social itu tampak dalam aturan-aturan, undang-undang dan disiplin-disiplin yang stabil dan melekat sehingga menjadi bagian dari syariat masyarakat. Seperti aturan-aturan politik, kekeluargaan, perdata, aturan agama dan etika, yang kesemuanya di jalankan dengan tindakan.
Gejala-gejala social itu berbeda-beda menurut perbedaan masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan hidup.gejala-gejala social yang terdapat didalam satu masyarakat pun akan bahwasan nya evolusi social itu pada suatu bentuk gerakan yang beruntun yang muncul dari masyarakat itu sendiri.
Dari tulisan dalam Muqadimmah, kita dapat mengetahui bahwa Ibnu Khaldun mempunyai pemikiran yang jelas dan terperinci mengenail keluasan aspek gejala-gejala social dengan cakupannya terhadap berbagai macam gejala. Hemat kami dalam kitab tersebut juga di jelaskan pengaruh letak geografis atau iklim terhadap gejala-gejala ini dan masalah-masalah social lainnya. Pengertian inilah yang diistilahkan oleh tokoh sosiologi barat, yakni Emile Durkhreim dengan la morpoholgie sociale (ilmu struktur masyarakat). Durkheim dan para pendukungnya mengira bahwa merekalah orang pertama yang memberikan perhatian terhadap ilmu sosiologi.
Mereka tidak mengetahu bahwa Ibnu Khaldun lah yang mempelajarinya terdahlu sekitar 5 abad sebelumnya. Bahkan Ibnu Khaldun sendiri juga menyinggung masalah-masalah lainnya, seperti etika, estetika, agama, hukum perdata, dan bahasa1. Dengan pembahasan Ibnu Khaldun terhadap gejala-gejala social, dia mempunyai tujuan hendak menarik hukum-hukum positif yang merupakan kesimpulan dari karakteristik gejala social tersebut.
Bersama kemajuan berpikir  manusia, keyakinan akan tunduknya gejala-gejalaitu terhadap hukum-hukum tertentu semakin luas sedikit demi sedikit. Sehingga keyakinan itu meliputi keseluruhan sisi alam dan semua gejala-gejala kehidupan. Dengan adanya hukum itulah kemudian masnusia menciptakan ilmu-ilmu baru yang di kenal denga ilmu alam (fisika), kimia, geografi, ilmu hayat, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan.
 Di tengah itu pula, atau mungkin sebelumnya, manusia tertarik kepada hukum-hukum ukuran dan hitungan yang menjadi dasar dari kuntitas. Dan dari hukum tersebutlah berkembang menjadi cabang ilmu yang banyak, seperti, matematika, aljabar, ilmu ukur, hitungan segitiga (versi baratnya adalah Phytagoras), dan lain sebagainya.
Tak seberapa  lama sesudah itu  para ahli pun dapat mengenal hukum-hukum yang menjadi dasar dari gejala-gejala jiwa individu manusia, seperti gejala mengingat, menghayal, merasakan, mengambil kesimpulan, dan keinginan (atau bias di katakan, ambisi). Dengan dasar hukum inilah kita bisa mengenal lebih dekat ilmu psikologi atau ilmu jiwa.
Sedangkan tentang gejala-gejala social, belum ada seorang pum sebelum Ibnu Khaldun yang mampu dan sanggup untuk menaarik determinisme nya kepada hukum-hukum positif statis, seperti hukum-hukum yang di jadikan dasar dari gejala-gejala alam dan matematika. Dengan demikian tak seorang pun sebelu kedatangannya sanggup menyingkap hukum-hukum tersebut.

                                             
2.      Ibnu Khaldun : Evolusi Hukum Kehidupan Sosial Terhadap Gejala Sosial

Dalam suat umat maupun suatu bangsa, posisi gejala-gejala social berbeda pada generasi yang menjalankannya, Mustahil, jika kita bias mendapatkan dua bangsa yang memiliki 1 kesamaan diantaranya dalam system social dan cara-cara penerapannya. Hal ini berlaku pada bidang-bidang politik, ekonomi, keluarga, kehakiman, dan bidang-bidang social lainnya. Dan soal ini pun bisa behubungan dengan etika, ukuran baik atau buruknya, utama dan hina. Sesuatu yang dianggap cakap atau jelek. Banyak hukum positif semacam yang tidak sesuai lagi dengan satu generasi dan diakui oleh generasi pertama. Inilah kelebihan Ibnu Khaldun. Dia begitu tertarik dengan kenyataan ini sehingga menjadikannya sebagai dasar pembahasannya dalam ilmu sosiologi. Dengan jelas ia mengatakannya sebagai berikut:
Sesungguhnya ihwal dunia, bangsa-bangsa, adat kebiasaan dan kepercayaan mereka tidak statis berjalan diatas satu getaran dan aturan yang tetap. Setiap hari dan setiap zaman ia berubah-ubah dan berpindah-pindah dari satu keadaan kepada keadaan lain. Sebagaimana yang terjadi pada individu, waktu, kota, provinsi, tempat, zaman, negara.” ( Al Muqadimmah, al bayan: 252).
Sosiologi membahas tentang gejala-gejala yang berubah-ubah menurut perbedaan zaman dan tempat. Oleh karena itu terpikul beban di pundak para ahli sosiologi. Sebab, mempelajari ilmu social tidaklah seperti mempelajari ilmu-ilmu eksak lainnya yang memang sudah seperti itu adanya, ilmu sosiologi dan ilmu social lainnya adalah ilmu yang dinamis lebih sukar di banding membahas gejala-gejala yang statis. Seorang sarjana sosiologi tidan hanya mencukupkan pembahasannya dengan melukiskan gejala-gejala social dan menerangkan perubahan-perubahan yang terjadi. Harus lebih daripada hal tersebut, termasuk tugasnya pula adalah berusaha menemukan hukum-hukum dan kaidah dari evolusi perbedaan-perbedaan itu. Oleh karena itu seorang ahli sejarah, ahli sosiologi, dan lainnya harus berhati-hati, netral, dan obyektif didalam membandingkan kejadian yang lalu dan kejadian yang kini sedang terjadi.
Seperti halnya Ibnu Khaldun memberikan contoh kesalahan para ahli sejarah:
Suatu contoh  yang menggambarkan kenyataan ini ialah cerita tentang Al Hajjaj, yang penurut para penulis riwayat hidupnya adalah seorang anak dari guru. Kini pekerjaan mengajar adalah suatu pekerjaan yang diangaap rendahan oleh golongan bangsawan, dan guru-guru itu biasanya melarat, lemah,dan dari keturunan non bangsawan. Tetapi selama dua dinasti pertama dalam islam, pekerjaan mengajar adalah suatu kedudukan yang lain sekali. Dalam kenyataannya, pekerjaan ini pada waktu sekali-sekali bukanlah merupakan pekerjaan yang mendapat upah, tetapi lebih merupakan menyampaikan sabda syari’ yang belum di ketahui banyak orang. Karena itu, maka hanya masyarakat islam yang paling mulia dan menjadi penunjuk jalan bagi mereka sendiri yang mau melakukan jihad untuk agama, diri sendiri(menuntut ilmu), negara. Apabila islam telah tegak dan masyarakat islam telah berdiri di atas akar-akar yang kukuh, maka rakyat yang jauh-jauh bisa belajar tentang ajaran-ajaran islam itu sendiri dari guru-guru pribumi. Kemudian lembaga-lembaga islam menjadi berubah, karena banyak sekali peraturan yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari diambil dari syari’at. Dengan demikian, menjadi keharusanlah membukukan hukum syariat itu agar dapat di jaga dari penafsiran-penafsiran yang salah. Pengetahuan tentang hukum itu kemudian merupakan suatu keahlian yang harus di peroleh dengan belajar; dengan perkataan lain pengetahuan tentang hukum mengambil tempatnya di antara pertukangan-pertukangan dan pekerjaan yang mendapatkan upah/gaji. Sebaliknya, orang termuka dan kepala-kepala suku semata-mata hanya mementingkan soal politik dan negara, dan menyerahka soal belajar itu kepada orang-orang yang senang kepadanya. Oleh karena itu, pekerjaan ini kemudian menjadi suatu pekerjaan yang dianggap remeh oleh para bangsawan dan hanya harus di kerjakan oleh kalangan rendahan saja, hingga dengan demikian para guru juga hanya di lihat sebelah mata oleh orang kalangan atas lainnya. Belajar yang ada di maksud kitab Al quran adalah tidak menjadikannya suatu profesi untuk mencari sumber penghidupan, tetapi lebih dari itu.” (Al Muqadimmah, al bayan: 254-255).


3.      Sosilogi Sesudah Ibnu Khaldun dan Auguste Comte
Muqadimmah Ibnu Khaldun memang tak banyak orang yang mengetahui nya. Pemikiran-pemikiran baru tentang gejala social Ibnu Khaldun tampak melalui beberapa periode. Setelah empat abad dari wafatnya, muqadimmahnya belum banyak diungkit-ungkit orang. Oleh karena itu semua studi-studi social masih juga seperti semula sebelum adanya muqadimmah Ibnu Khaldun. Keadaan seperti ini berlangsung sampai pertengahan abad ke  delapan belas. Yang dimana pada waktu itu muncul beberapa pembaharu sosiologi yang berangkat  mengarah sejajar denga pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun, namun tak mencapai tingkat yang sejajar dengannya. Seperti salah satu sarjana di Italia yang bernama Vico dalam pembahasan filsafat sejarah, dengan buku yang bejudul “Scien Zanouva” di tahun 1668-1744. Pembahasan-pembahasan Vico pada saat itu banyak menghebohkan para sarjana sosiologi dan bahkan banyak juga yang menyebutnya sebagai pembina pertama sosiologi. Para sarjana yang mengikuti Vico diantaranya adalah, Lessing, Herder, Emmanuel Kant, Condorcet, Voltaire. Obyek- obyek yang di tuliskan Vico sebelumnya sudah mengarah terhadap pemikiran Ibnu Khaldun. Meskipun begitu banyak perbedaan prinsipil yang ada pada pokok pikiran dua perbedaan utama, yaitu: pertama, pembahasan dari Ibnu Khaldun mencakupi dari keseluruhan aspek dan segi kehidupan masyarakat social (segi statis maupun perkembangannya). pembahasan dari Vico sendiri tentang sosiologi atau filsafat sejarah yang dirintis hanya membahas aspek evolusinya saja.
Kedua, bahwa pembahasan-pembahasan Ibnu Khaldun hanya bergantung pada observasi dan membaca peristiwa-peristiwa. Sedangkan para sarjana filsafat sejarah telah terpengaruh oleh teori-teori filosofis dan pendapat yang telah di temukan sebelumnya. Mereka berusaha menundukkan kenyataan-kenyataan sejarah kepada teori dan pendapat pendapat itu. Studi yang telah di kaji Ibnu Khaldun lebih luas daripada pengertian ini, dengan isi yang padat dan metode yang meyakinkan.
Dalam pembahasan ini di bagi menjadi beberapa pokok bagian. Yakni :
A.    Ekonomi Politis : Obyek pembahasannya adalah studi kekayaan untuk mencari dan menemukan hukum-hukum gejala produksi kekayaan itu. Studi ini di lakukan di Perancis yang di pelopori oleh perkumpulan Physiocrates (para sarjana fisika) yang di pimpin oleh Doctor Quesnay, salah satu seorang doctor di masa Louis XV. dan pembahasan ini di ikuti juga oleh Marquis de Mirabeau yang jago berpidato sehingga menimbulkan semangat revolusi perancis pada saat itu.
B.     Filsafat Hukum : Obyek pembahasannyatentang syariat-syariat poitif yang belaku di berbagai bangsa dan zaman melalui studi analisa dan persamaan serta perbandingan-perbandingan. Tujuan terpenting dari pembahasan ini adalah usaha menemukan sumber-sumber hukum dan juga menghubungkan dengan gejala-gejala social yang lain, serta usaha menentukan kadar intensitas pengaruhnya bagi lingkungan suatu bangsa, dan aturan-aturan politik.
C.     Filsafat Politik: Obyek pembahasannya adalah mengenai dasar-dasar aturan  pemerintah negara yang ada di dalam kumpulan social umat manusia. Sarjana termuka dalam bidang ini adalah Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dalam bukunya Du Contrat Social.
D.    Statistik: Pembahasan-pembahasan terhadap angka atau numerik. Pembahasan ini berkembang menjadi dua cabang ilmu, yakni : ilmu demografi dan statistic moral.
Cabang ilmu pengetahuan ini pertama kali di ciptakan oleh Quetelet (1796-1874) dandi sebut sebagai fisika social. Pembahasan Qutelet pun memberikan pengaruh kepada sarjana-sarjana lainnya seperti Auguste Comte, dan Auguste Comte sendiri pun mengakui Quetelet sebagai pembangun sosiologi.
Pembahasan tersebut dengan segala macam cabang ilmunya memang mengarah kepada tujuan-tujuan yang di pelajari oleh Ibnu Khaldun. Walau demikian, berbeda dengan pembahasan Ibnu Khaldun. Ada dua pokok perbedaan diantaranya adalah:
Pertama, studi ilmu Ibnu Khaldun adalah studi yang utuh dan sempurna mencakup keseluruhan gejala-gejala itu, serta menerangkan hubungan-hubungan yang mengikat satu sama lain.
Kedua, pembahasan Ibnu Khaldun hanya berdasarka dari observasi dan membaca peristiwa-peristiwa sejarah. Tujuannya tak lain, yakni tujuan ilmiah yang bersih dan obyektif.






4.      Faktor-Faktor yang Mendorong Ibnu Khaldun dan Auguste Comte Menciptakan Sosiologi
Dalam menciptakan ilmu baru, Ibnu Khaldun dan Auguste Comte mempunyai alasan yang berbeda satu sama lain.
Ibnu Khaldun, didorong oleh keinginananya untuk membebaskan pembahasan sejarah dari berita-berita dan catatan palsu, menciptakan suatu alat yang dapat di pergunakan oleh para sarjana sosiologi untuk mendeteksi mana berita yang benar dan mana berita yang salah atau palsu. Dan juga bisa menyatukan pikirannya menganalisa berita-berita yang benar.
Auguste Comte, dalam menciptakan sosiologi didorong oleh keinginan untuk memperbaiki umat manusia dan membebaskan masyarakat dari factor-faktor yang menimbulkan keguncangan dan kerusakan. Menurutnya, tak ada jalan lain cara memperbaiki keadaan masyarakat yang kacau, kecuali dengan cara memperbaiki pola pikir manusia tersebut.









Sumber :
As-Sakhawil jilid IV halaman 145. Wafi, Abdulwahid, Ali. 1985. Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya. Jakarta: PT GrafitiPress.  . Al Muqadimmah, al bayan: 254-255. . Al Muqadimmah, al bayan: 252. Al Muqadimmah, Al Bayan:261. W, Rochiati. 2015. Buku Ajar Filsafat Ilmu Relevansinya dengan Pendidikan IPS. Bandung: Rizqi Press.

1 comment: