Oleh
: Dea Novianti Gunawan
Reformasi disebabkan oleh
kejadian 2 yang kompleks, The Babylonian Capavity of the popes dan Sehisma
besar sangat mengurangi prestise Roma.
Korupsi dan keduniawian gereja dan zaman Renesance
mengakibatkan kebencian orang-orang yang kemudian timbul pemikiran, bahwa
fungsi pendeta-pendeta gereja sebagai penghubung antara tuhan dan seorang
individu tidak lagi dibutuhkan dan bahwa gereja Khatolik bukan satu-satunya
lembaga untuk mendapatkan penyelamatan dari dosa. Terdapat pula alasan yang non
spiritual, antara lain :
1). Suatu sikap yang kritis terhadap kekayaan gereja
Khatolik dan keuntungan 2 materil yang mereka terima.
2). Negara-negara nasional baru tidak setuju dengan
konsep Internasional Gereja Khatolik.
3). Di antara Pangeran dan Jerman ada yang ingin
menghapusakan otoritas rohaniawan dalam wilayahnya.
Reformasi bermula dari seorang tokoh bernama
Martin Luther ( 1483-1546 ). Luther sebagai seorang rahib sekaligus seorang
doktor teologi yang memiliki kecerdasan berpikir tentu tidak seperti orang
kebanyakan, yang menerima begitu saja semua apa yang dikatakan oleh Paus di
Roma.
Dalam masalah “rahmat keselamatan” umpamanya. Menurut
kebanyakan orang, maka tentu biaralah yang menjadi jalan terbaik untuk
memprolehnya. Akan tetapi sekalipun ia telah menempuh jalan yang ditunjukkan
oleh gereja dengan sungguh-sungguh, akhirnya ia merasakan bahwa jalan itu
adalah jalan buntu. Karena kesungguhannya yang luar biasa, pada akhirnya ia pun
menemukan juga, yaitu I : 16 – 17 yang berbunyi : Injil adalah kekuatan Allah
yang menyelamatkan setiap orang . . . sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah,
yang bertolak dari iman dan memimpin pada iman, seperti ada tertulis demikian :
‘orang benar akan hidup oleh iman’.
Menurutnya bahwa kebenaran Allah itu tidak lain dari
pada ‘rahmat Allah’ yang menerima orang-orang berdosa serta berputus asa
terhadap dirinya sendiri, tetapi yang menolak orang yang menganggap dirinya
baik; bahwa kebenaran Allah tidak lain dari pada suatu pemberian yang
dianugrahkan-Nya kepada setiap manusia, yang ingin menyebutnya iman. Di tengah
pergumulannya ini Luther telah bertemu dengan Allah, Tuhannya.
Berangkat dari pemikirannya yang demikian, maka ketika
Paus Leo X menyarankan kepada Uskup Besar Albrecht dari Mainz untuk
memperdagangkan ‘Surat Penghapusan Dosa’ secara besar-besaran di Jerman,
dengan berani ia menentangnya. Perbuatannya telah mendorong Kaisar Karel V
mengadakan suatu ‘rapat kerajaan’ dan mengeluarkan ‘Edik Worms’, dalam
mana Luther dengan pengikutnya dikucilkan dalam masyarakat dengan ‘kutuk
kerajaan’. Semua karangan Luther harus dibakar.
Ia sendiri boleh ditangkap dan dibunuholeh siapa saja
yang menemuianya. Keadaan ini tidak melemahkan para pengikut Luther, bahkan
sebaliknya. Karena pertikaian yang berkepanjangan, maka pada tahun 1529
diadakan pula rapat kerajaan di Jerman. Akan tetapi karena kebanyakan anggota
yang hadir adalah pengikut Roma Khatolik, maka rapat itu memutuskan untuk
melarang adanya reformasi di seluruh wilayah ke Kaisaran. Hal ini tidak bisa
diterima oleh para pengikut Luther, mereka mengemukakan ‘protes’ dengan
kerasnya. Sebab itu timbul lah istilah ‘orang Protestan’ dan selanjutnya
‘Agama Protestan’.
Sejak itu pertikaian kedua golongan itu pun menjadi semakin meningkat. Meskipun Kaisar Karel V sudah berjanji untuk mendengarkan dan mempertimbangkan pandangan-pandangan kaum reformis, pada sidang kerajaan tahun 1530, akan tetapi golongan Roma Khatolik tetap bersikeras dan berniat untuk meniadakan reformasi.
Maka tidak dapat dihindarkan terjadinya peperangan antara raja-raja yang berpihak kepada reformasi maupun Roma Khatolik. Setelah 25 tahun peperangan, akhirnya pertikaian Roma Khatolik dan Protestan diselesaikan pada tahun 1555 oleh ‘perdamaian Agama di Augsburg’. Kaisar terpaksa mengakui adanya ‘Gereja Reformasi’ sebagai agama resmi yang setara dan memiliki otoritas yang sama dengan ‘Gereja Roma Khatolik’.
Sejak itu pertikaian kedua golongan itu pun menjadi semakin meningkat. Meskipun Kaisar Karel V sudah berjanji untuk mendengarkan dan mempertimbangkan pandangan-pandangan kaum reformis, pada sidang kerajaan tahun 1530, akan tetapi golongan Roma Khatolik tetap bersikeras dan berniat untuk meniadakan reformasi.
Maka tidak dapat dihindarkan terjadinya peperangan antara raja-raja yang berpihak kepada reformasi maupun Roma Khatolik. Setelah 25 tahun peperangan, akhirnya pertikaian Roma Khatolik dan Protestan diselesaikan pada tahun 1555 oleh ‘perdamaian Agama di Augsburg’. Kaisar terpaksa mengakui adanya ‘Gereja Reformasi’ sebagai agama resmi yang setara dan memiliki otoritas yang sama dengan ‘Gereja Roma Khatolik’.
Berbeda orangnya, lain pula model yang dilakukannya.
Orang kedua terbesar setelah Luther pelanjutnya adalah Johanes Calvin (
1509-1564 ). Calvin agak berbeda dengan pendahulunya, Luther , dalam model
pembaruannya. Kalau Luther masih memperlihatkan sikap-sikap yang
tradisionalistis, yaitu masih mempertahankan tradisi-tradisi ritual Roma
Khatolik, asal saja tidak bertantangan dengan al-kitab, maka Calvin adalah
Lain.
Calvin menolak sepenuhnya tata aturan dan tata kerja yang berasal dari ajaran Roma Khatolik. Ia mengubah dengan modelnya sendiri, yang benar menurut pandangannya, sesuai dengan al-kitab. segera setelah ia menjadi pendeta resmi di Genewa, ia mengajukan rancangan tata kerja baru dan bermakhsud menjalankan ‘siasat’ yang keras, baik terhadap ajaran agama, maupun atas kelakuan anggota jemaat.
Calvin menolak sepenuhnya tata aturan dan tata kerja yang berasal dari ajaran Roma Khatolik. Ia mengubah dengan modelnya sendiri, yang benar menurut pandangannya, sesuai dengan al-kitab. segera setelah ia menjadi pendeta resmi di Genewa, ia mengajukan rancangan tata kerja baru dan bermakhsud menjalankan ‘siasat’ yang keras, baik terhadap ajaran agama, maupun atas kelakuan anggota jemaat.
Sekalian penduduk diwajibkan untuk menandatangani sehelai
‘surat pengakuan’ karena segenap penduduk kota hanya boleh terdiri dari
warga Kristen yang sadar akan imannya. Pengajaran agama mendapat perhatian
sungguh-sungguh, juga untuk masalah perkawinan dibuat peraturan baru ( baik
Luther maupun Calvin, keduanya mempunyai istri ).
Tetapi rancangan Calvin tersebut tidak dapat
dilaksanakan. Persoalannya karena pihak Genewa tidak menghendakinya, juga
adanya protes dari kalangan penduduk yang tidak menginginkan adanya surat
pengakuan. Dengan terpaksa Calvin meninggalkan Genewa. Akan tetapi selang
beberapa tahun, Calvin dipanggil kembali ke Genewa untuk melanjutkan rancangan
tersebut.
Demikianlah Calvin menjadikan kota Genewa sebagai
pilot proyek bagi masyarakat Kristen yang dikuasai pleh firman tuhan saja,
teokrasi. Untuk mencapai makhsudnya, yaitu suatu jemaat yang suci, Calvin semakin
keras bertindak dalam melaksanakan siasat. Orang-orang yang berpangkat tinggi,
bangsawan, orang kaya tidak dikecualikan. Hukuman berat ditentukan untuk mereka
yang melakukan tingkah laku yang tidak senonoh, seperti berdansa, berzina, main
kartu, tidak berbuat baik kepada orang tua, lalai menghadiri kebaktian dan
sebagainnya. Orang-orang yang keras diserahkan pada penguasa duniawi.
Dengan itu Calvin semakin kokoh saja kedudukannya.
Genewa telah menjadi sebuah kota menurut model dan cita-cita Calvin. Masyarakatnya
taat kepada al-Kitab. Cara hidup di Genewa benar-benar sederhana dan keras,
akan tetapi dengan begitu rakyat semakin bertambah kuat, rajin dan makmur. Kota
Genewa inilah kemudian menjadi tipe ideal bagi kota-kota lain di Eropa yang
Protestan.
sumbernya??
ReplyDelete