Thursday, January 7, 2016

Kehadiran Islam di Eropa




Oleh: Juwita Putri Morjani



“The rise and spread of Islam brought an alien and disruptive force which finally broke the unity of the Mediterranean world.”[1]
Samuel Huntington dalam bukunya Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, mengutip Melko mengatakan di dunia ini ada 12 peradaban, 7 peradaban sudah tidak eksis (Mesopotamia, Mesir, Kreta, Klasik, Byzantine, Amerika Tengah, dan Andea), sedangkan lima peradaban masih eksis (Tionghoa, Jepang, India, Islam, dan Barat). Samuel Huntington sendiri menyebutkan ada delapan peradaban besar, yaitu Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavik, Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Dari peradaban-peradaban tersebut akan terjadi vis a vis yang memunculkan perbenturan. Selanjutnya ia mengatakan potensi itu akan terjadi antara Barat dengan koalisi Islam-Konfusius.[2]
            Persinggungan antara negara-negara Barat dan negara Timur (Islam), bukan pertama kali terjadi. Jauh sebelum lahirnya Karl Marx, yang menjadi peletak dasar Komunisme, hingga kemudian mengawali lahirnya perseteruan ideologis dengan negara-negara Barat, Islam telah hadir dan menjadi bagian penting bagi perkembangan intelektual Eropa. Pernyataan Hayes, yaitu menjadi sebuah pengakuan atas kuatnya pengaruh Islam di Eropa, sehingga mampu memecahkan culture bangsa-bangsa Eropa yang dahulu pernah bersatu di bawah Imperium Romawi.[3]
Terdapat banyak versi terkait motif invasi Muslim ke luar semenanjung Arabia. Hitti dalam Ajat Sudrajat mengatakan bahwa setidaknya ada dua motif utama dalam penaklukkan tersebut, yaitu keagamaan dan ekonomi. Menurutnya, para ulama menafsirkan bahwa gerakan ekspansi tersebut adalah gerakan keagamaan (dakwah). Sementara kalangan ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani) mengatakan motivasi utama adalah ekonomi, yaitu memperoleh harta rampasan perang dan pajak.[4] Watt, menyampaikan bahwa motif penyebrangan selat Gilbraltar oleh kaum Muslim, selain jihad, memperoleh harta rampasan merupakan bagian motivasi yang besar juga.[5] Namun, lepas dari itu semua, keberadaan kaum Muslimin di Eropa memberikan warna yang berbeda pada peradaban Eropa. Karena, berbeda dengan Romawi yang tunduk pada budaya Yunani, Islam justru mampu menundukkan dan menginternalisasi nilai-nilai Islam dalam budaya Eropa Kristen, meskipun beberapa di antaranya menganggap adanya unsur paksaan dalam persoalan tersebut.
Ketika Islam mulai memasuki masa kemunduran di daerah Semenanjung Arab, bangsa-bangsa Eropa justru mulai bangkit dari tidurnya yang panjang, yang kemudian banyak dikenal dengan Renaissance. Kebangkitan tersebut bukan saja dalam bidang politik, dengan keberhasilan Eropa mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam dan bagian dunia lainnya, tetapi terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Harus diakui, bahwa justru dalam bidang ilmu dan teknologi itulah yang mendukung keberhasilan negara-negara baru Eropa. Kemajuan-kemajuan Eropa tidak dapat dipisahkan dari peran Islam saat menguasai Spanyol.[6]
Dari Spanyol Islam itulah Eropa banyak menimba ilmu pengetahuan. Ketika Islam mencapai masa keemasannya, Kota Cordoba dan Granada di Spanyol merupakan pusat-pusat peradaban Islam yang sangat penting saat itu dan dianggap menyaingi Baghdad di Timur.

                           1. Cordova                                    2. Granada
                 



Ketika itu, orang-orang Eropa Kristen, Katolik maupun Yahudi dari berbagai wilayah dan negara banyak belajar di perguruan-perguruan tinggi Islam di sana. Islam menjadi “guru” bagi orang Eropa.[7] Di sini pula mereka dapat hidup dengan aman penuh dengan kedamaian dan toleransi yang tinggi, kebebasan untuk berimajinasi dan adanya ruang yang luas untuk mengekspresikan jiwa-jiwa seni dan sastra.[8]
Penduduk keturunan Spanyol dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu: Pertama, kelompok yang telah memeluk Islam; Kedua, kelompok yang tetap pada keyakinannya tetapi meniru adat dan kebiasaan bangsa Arab, baik dalam bertingkah laku maupun bertutur kata; mereka kemudian dikenal dengan sebutan Musta’ribah, dan Ketiga, kelompok yang tetap berpegang teguh pada agamanya semula dan warisan budaya nenek moyangnya. Tidak sedikit dari mereka, yang non-muslim, menjadi pejabat sipil maupun militer, di dalam kekuasaan Islam Spanyol. Mereka pun mendapat keleluasaan dalam menjalankan ibadah mereka tanpa diganggu atau mendapat rintangan dari penguasa muslim saat itu, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya saat penguasa Kristen memerintah Spanyol.[9]
Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik. Memang banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sicilia dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah Spanyol Islam.
Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian, dan peradaban antar negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan fisik.[10] Yang terpenting di antaranya adalah pemikiran Ibn Rusyd (1120-1198 M). la melepaskan belenggu taqlid dan menganjurkan kebebasan berpikir. la mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. la mengedepankan sunnahtullah menurut pengertian Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme Kristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme (Ibn Rusydisme) yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroeisme ini.
Berawal dari gerakan Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M.[11] 41 Buku-buku Ibn Rusyd dicetak di Vinesia tahun 1481, 1482, 1483, 1489, dan 1500 M. Bahkan, edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557 M. Karya-karyanya juga diterbitkan pada abad ke-16 M di Napoli, Bologna, Lyonms, dan Strasbourg, dan di awal abad ke-17 M di Jenewa.
Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan Muslim. Pusat penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Universitas pertama Eropa adalah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231 M tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Di akhir zaman Pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah pemikiran Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.[12]
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaissance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin.[13]
Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membidani gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (renaissance) pada abad ke-14 M yang bermula di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklarung) pada abad ke-18 M.[14]





[1] Carlton Hayes, History of Europe. (New York: MacMillan Company, 1956), hlm. 127.
[2] Samuel Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. (Yogyakarta: Qalam), hlm. 37.
[3] Desvian Bandarsyah dan Laely Armiyati, Sejarah Eropa 1: Dari Klasik hingga Industrialisasi. (Jakarta: Mitra Abadi, 2014), hlm. 35.
[4] Ajat Sudarajat, Perang Salib dan Kebangkitan Kembali Ekonomi Eropa. (Yogyakarta: Leutika, 2009), hlm. 21.
[5] Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia. (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 11.
[6] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam. (Jakarta, Kencana. 2005), hlm. 109.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. (Jakarta, Rajawali Pers. 2004), hlm. 87.
[8] Dean Derhak, Muslim Spain and European Culture, dalam http://www.muslimheritage.com.
[9] Siti Maryam, dkk., Sejarah Peradaban Islam: Dari masa Klasik hingga Modern. (Yogyakarta. LESFI, 2004). hlm. 83.
[10] Philip K. Hitti, History of the Arab. hlm. 526-530.
[11] S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern. (Jakarta: P3M, 1986), hlm. 67.
[12] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd. (Jakarta: Bulan Bintan: 1975), hlm. 148-149.
[13] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat. (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 32.
[14] S.I. Poeradisastra, op.cit., hlm. 77.

1 comment: