Sunday, January 3, 2016

Robespierre dan Rezim Teror Pasca Revolusi 1789

Oleh : Astrid Dwi Rama

Jika berbicara tentang Robespierre, kita selalu mengaitkannya dengan Jacobin Club, Revolusi Perancis, dan Rezim Teror. Kita tidak bisa membicarakan dirinya tanpa mengundang emosi dari dua kelompok yang terus bersiteru. Di satu sisi banyak yang mengutuk karena masalah kediktatorannya, disisi lain banyak pula yang  mengagumi karena ia berjuang menjaga harga diri negaranya. 

Di tengah Revolusi berkecamuk, Robespierre mengatakan, “Kebajikan tanpa teror adalah fatal dan teror tanpa kebajikan ialah impoten. Menghukum para penindas kemanusiaan (dengan cara kekerasan) adalah hal yang bisa diampuni, sementara memaafkan mereka adalah barbar.”

Robespierre - Pelukis: Mm. Labille-Guiard
Teror adalah instrumen yang digunakan pada masa pemerintahan darurat yang genting, demi menekan pemberontakan dan penerapan nilai-nilai yang ingin diadaptasi. Teror menggunakan cara yang keras untuk menstabilkan hasil dari kekacauan dan mengembalikan keamanan negara. Bagi Robespierre, teror adalah kebajikan, digunakan seperlunya dalam keadaan yang mendesak saja. Namun pada saat itu, teror disalah gunakan seperti yang dilakukan oleh para deputi dan anggota Committee korup pada zaman Revolusi Perancis.

Eropa khususnya di Paris – Perancis, teror telah dikenal sejak  abad 18. Gerard Chailland dan Arnaud Blid mengatakan dalam bukunya The History of Terrorism From Antiquity to Al Qaeda bahwa Revolusi Perancis lah yang memberi sumbangan besar pada lahirnya istilah teror. Dan teror dikenal melalui kelompok jacobin yang dipimpin Robespierre saat mengambil alih Paris pasca revolusi 1789. Jacobin ditakuti karena mengesekusi siapa pun yang dianggap kontra-revolusioner termasuk Raja Louis XVI dan Ratu Antoinette yang dipenggal dengan pisau Guillotine. Mengapa kelompok Jacobin memilih Teror dalam pemerintahannya?

Jawabannya adalah; Perancis sudah jatuh dalam kesulitan ekonomi semenjak sepeninggal Louis XV. Bertahun-tahun gagal panen membuat harga roti melambung, selain itu rakyat harus menyetor pajak pada tuan tanah dan bangsawan. Pajak hanya diterapkan pada rakyat biasa, sementara bangsawan dan gereja hidup bermewah-mewahan tanpa membayar apapun. Perang melawan Inggris yang dilakukan Louis XV pun meninggalkan hutang yang banyak.

Louis XV meninggal dan digantikan cucunya, Louis XVI. Raja yang mengambil kebijakan yang ternyata semakin memperburuk ekonomi Perancis yaitu dengan mengadakan perang lagi. Louis XVI sakit hati atas kekalahan Perancis melawan Inggris, lantas ia mengeluarkan keputusan untuk membantu Amerika dalam perang kemerdekaannya melawan Inggris. Perancis memberikan bantuan dalam jumlah miliaran, akibatnya Perancis semakin terpuruk dengan banyaknya hutang. Ditambah lagi gaya hidup Marie Antoinette dan bangsawan kerajaan yang sangat boros, sistem pajak yang tidak adil dan gagal panen membuat rakyat memberontak.

Krisis ekonomi dan pangan, ditambah dengan serbuan tentara asing dari semua penjuru dan  sebagian rakyat yang memberontak, memaksa badan pemerintahan yang kala itu didominasi anggota Jacobin mengambil langkah ekstrim. Robespierre mengambil kesimpulan, demi membentuk republik ideal ini seseorang harus bersiap memusnahkan musuh-musuh revolusi. Ironi dari gagasan ini juga didengungkan masih dalam pidato yang sama, dimana Robespierre membenarkan penggunaan teror. Dia berkata:

“Bila dasar dari pemerintahan pada masa damai adalah virtue [nilai-nilai kebajikan], maka dasar dari pemerintahan selama masa revolusi adalah virtue dan teror [tekanan]; virtue tanpa terror akan mematikan dan teror tanpa virtue akan tak berdaya. Teror tidak lain instrumen keadilan yang cepat, fatal dan tidak goyah; karenanya terror menjadi tangan dari virtue dan merupakan akibat dari dijalankannya demokrasi, demi memenuhi kebutuhan negara yang sangat mendesak”

Pertama kalinya dalam sejarah, teror menjadi kebijakan pemerintahan yang dilegalkan. Teror diperbolehkan, dan menang dalam pungutan suara di National Convention, dimana menggunakan kekerasan untuk meraih tujuan politik yang lebih tinggi. Untuk melindungi revolusi dengan mengeleminasi musuh-musuh eksternal maupun internal di wilayah Perancis. Robespierre pun membenarkan metodenya yang dipercaya bahwa kekerasan, dan kekejaman akan menjadi jalan untuk terciptanya sistem yang lebih baik. Inilah saat zaman kegelapan di Perancis.

Teror bisa dikatakan langkah putus-asa pemerintahan dalam kondisi darurat, kebijakan sementara untuk meredam krisis sampai ke tingkat yang bisa diterapkan kebijakan moderat. Teror digunakan untuk memenuhi kebutuhan Perancis untuk menindak cepat, tegas dan keras guna mengembalikan kestabilan negara.

Menurut Dr. Marisa Linton di History Today,  Robespierre dan para anggota Jacobin lainnya menganggap teror memiliki tujuan moral yang lebih dalam daripada memenangkan peperangan: yakni mewujudkan sebuah 'Republic of Virtue' (republik kebajikan). Maksud Robespierre dari republik kebajikan adalah sebuah masyarakat dimana orang-orangnya lebih mementingkan kebahagiaan manusia lainnya daripada keuntungannya sendiri. Perancis harus diperbaiki dengan nilai-nilai moral.

Georges Danton, salah satu anggota jacobin dan teman Robespierre mengatakan, "Biarlah kita menjadi kejam agar rakyat tidak menjadi demikian." Pemerintah mengambil teror muncul karena kelemahan dan rasa takut. Jacobin memiliki hak kekuasaan yang goyah, selain itu tak terhitung banyaknya penentang dan pemberontak seluruh Perancis dari kaum bangsawan kerajaan yang kukuh sampai para revolusioner moderat yang tidak suka melihat kekuasaan terlalu terpusat dan posisi mereka di National Convention digantikan Jacobin. Banyak orang di Perancis sudah tidak peduli lagi, bahkan terang-terangan memusuhi Revolusi sehingga ada harga yang harus dibayar untuk itu yaitu, pertumpahan darah.

Jumlah hukuman mati khususnya di Paris adalah 2.639, sementara jumlah keseluruhan hukuman mati sepanjang teror berlaku diseluruh Perancis adalah 16.594. Para Jacobin cukup teliti menjaga tatanan legal teror, arsip-arsip lengkap dilakukan untuk setiap putusan hukuman mati. Namun banyak orang yang terbunuh tanpa putusan formal di pengadilan. Sebagian meninggal di penjara-penjara yang terlalu ramai dan kotor untuk menunggu diadili, sebagian yang lain meninggal di perang saudara dan pemberontakan kaum federal, kematian-kematian ini tidak di dokumentasikan.

Semakin lama di Paris jumlah eksekusi semakin banyak, akibat penyalahgunaan penerapan Hukum 22 Prairial [[1]]. penyalahgunaan hukum ini yang menyebabkan mimpi buruk teror terjadi. Hingga akhirnya Robespierre berseteru dan memutuskan hubungan politik dengan para koleganya karena isu mereka menyalahgunakan wewenang yang diberikan untuk membunuh dengan seenaknya saat menjalankan misi-misi mereka di daerah tertentu. Kemarahan Robespierre atas ketidak moralan mereka mengubah yang semula teman menjadi musuh yang mematikan.

Akhirnya, Robespierre dan kolega terdekatnya ditangkap dan setelah gagal meminta Sans-Cullotes melindungi dari para deputi yang telah menyalahgunakan penerapan hukuman tersebut di aula kota (Hotel de Ville), mereka di eksekusi keesokan harinya tanpa proses pengadilan. Ketika Robespierre mati, demokrasi juga mati bersamanya. Seperti yang dikatakan Cambon, salah seorang Jacobin, mengatakan; "ketika itu kami tidak sadar bila membunuh Robespierre sama halnya dengan membunuh Republik."

Ada juga sumber lain yang mengatakan bahwa Robespierre lah yang sebenarnya menyalahgunakan kekuasaan untuk memperoleh kekuasaan atas seluruh Perancis. Ia tak segan memvonis hukuman mati kepada siapapun yang dianggap menghalangi ambisinya. Sampai kemudian, pada juli 1793 Robespierre beserta pengikut setianya dihukum mati atas semua perbuatannya di pengadilan tinggi Perancis.





*Dikutip dari beberapa sumber;
Zen RS – kurangpiknik.tumblr.com/post/133178213207/paris-yang-berdarah-itu
Historytoday.com – Robespierre and Reign of Terror by Marisa Linton
m.kaskus.co.id – Maximilien de Robiespierre, Revolusioner yang Difitnah


[[1]] Hukum 22 Prairial adalah hukum  dengan mempercepat pengadilan orang yang dipenjara, menghilangkan pembelaan terdakwa dan hanya menyisakan dua keputusan yakni dibebaskan atau dihukum mati. Penyalahgunaan Hukum 22 Prairial dan gagalnya kedua Committee mengaplikasikan Hukum Ventose (hukum yang dibuat Saint-Just dan Robespierre dimana menyita barang-barang milik bangsawan kaya dan borjuis yang menentang revolusi dan membagikannya ke rakyat miskin) menjadi sumber lain perseteruan kubu Robespierre dan lawan-lawan politiknya. Penyalahgunaan Hukum 22 Prairial mengakibatkan banyaknya orang dihukum mati pada masa itu.

3 comments:

  1. yup, terimakasih ya,,perhatikan teknik penulisan dr sumber internet

    ReplyDelete
  2. Revolusi memakan anaknya sendiri ?

    ReplyDelete
  3. Revolusi memakan anaknya sendiri ?

    ReplyDelete