Friday, January 8, 2016

Sejarah Feminisme di Eropa

Oleh: Dina Farhana

            Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan.
Sebelum feminis digunakan sebagai ungkapan  umum dalam bahasa inggris, kata-kata seperti “womanism, the woman movement, atau woman questions telah digunakan terlebih dulu.[1] Kata “feminist” pertama kali ditemukan pada awal abad ke 19 oleh seorang sosialis berkebangsaan Perancis, yaitu Charles Fourier. Ide yang diusungnya adalah transformasi perempuan oleh masyarakat berdasarkan saling ketergantungan dan kerjasama, bukan pada kompetisi dan mencari keuntungan.  Pemikirannnya ini mempengaruhi banyak perempuan dan mengkombinasikan antara emansipasi pribadi dengan emansipasi  sosial.
Gerakan feminis pada mulanya adalah  gerak sekelompok aktivis perempuan barat, yang kemudian lambat laun menjadi gelombang akademik di universitas-universitas, termasuk  negara-negara Islam, melalui program ”woman studies”.  Gerakan perempuan  telah mendapat “restu”  dari  Perserikatan Bangsa Bangsa perempuan dengan dikeluarkannya CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women). Negara dan lembaga serta organisasi-organisasi di dunia terus mendukung gerakan-gerakan perempuan , walaupun  menurut Khan dukungan tersebut memiliki efek negatif bagi gerakan perempuan (baca-feminisme) karena aktivis perempuan telah kehilangan sudut pandang politik (political edge) dan juga untuk beberapa kasus telah kehilangan komitmennya.[2]
            Untuk mengetahui bagaimana feminisme itu lahir dan berkembang, kita harus melihat kondisi Barat (dalam hal ini Eropa) pada abad pertengahan, yaitu masa ketika suara-suara feminis mulai terdengar. Pada Abad pertengahan, gereja berperan sebagai sentral kekuatan, dan Paus sebagai pemimpin gereja, menempatkan dirinya sebagai pusat dan sumber kekuasaan. Sampai abad ke-17, gereja masih tetap mempertahankan posisi hegemoninya, sehingga berbagai hal yang dapat menggoyahkan otoritas dan legitimasi gereja, dianggap seabagai heresy dan dihadapkan ke Mahkamah Inkuisisi.[3]
            Menurut  McKay, pada dekade 1560 dan 1648 merupakan penurunan status perempuan di masyarakat Eropa. Reformasi yang dilakukan para pembaharu gereja tidak banyak membantu nasib perempuan.  Studi-studi spiritual kemudian dilakukan  untuk memperbaharui konsep   Saint Paul’s tentang perempuan, yaitu perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan merupakan makhluk kelas dua di dunia ini. Walaupun beberapa  pendapat pribadi dan hukum publik yang berhubungan degan status perempuan di barat cukup bervariasi, tetapi terdapat bukti-bukti kuat yang mengindikasikan bahwa perempuan telah dianggap sebagai makluk inferior.  Sebagian besar perempuan diperlakukan sebagai anak kecil-dewasa yang bisa digoda atau dianggap sangat tidak rasional. Bahkan pada tahun 1595, seorang profesor dari Wittenberg University melakukan perdebatan  serius mengenai apakah perempuan itu  manusia atau bukan. Pelacuran merebak dan dilegalkan oleh negara. Perempuan menikah di abad pertengahan juga tidak memiliki hak untuk bercerai dari suaminya dengan alasan apapun.[4]
            Latar belakang yang kelam memicu semangat para perempuan-perempuan yang ingin terbebas dari kekangan gereja maupun pihak laki-laki yang menempatkan perempuan dalam derajat yang rendah. Selama masa abad pertengahan aktifitas perempuan juga sangat dibatasi. Termasuk salah satunya dalam hal intelektual. Maka bisa dilihat bahwa pada abad pertengahan jarang sekali ditemukan seorang ilmuwan perempuan, kebanyakan yang dikenal adalah ilmuwan laki-laki. Hal ini tidak terlepas dari dominasi gereja yang menggap perempuan sebagai sesuatu yang hina.
Revolusi yang terjadi di Eropa membuat gerakan perempuan mendapatkan kesempatan untuk ikut menyuarakan kepentingan mereka. Pada Revolusi Puritan di  Inggris Raya pada abad 17,  kaum perempuan puritan  berusaha untuk mendefinisikan ulang area  aktivitas perempuan dengan menarik legitimasi dari doktrin-doktrin yang menjadi otoritas bapak, laki-laki, pendeta dan pemimpin politik. Revolusi Puritan telah menghasilkan ferment  dimana semua bentuk hierarki ditulis oleh semua anggota sekte yang radikal di Inggris Raya.[5] Pada tahun 1890, kata feminis digunakan  untuk mendeskripsikan kampanye perempuan pada  pemilihan umum  ketika  banyak organisasi telah didirikan  di Inggris untuk menyebarkan ide liberal tentang hak individual perempuan.[6]
Revolusi Perancis (1789) juga  telah memberi pengaruh besar pada gerakan perempuan di Barat. Kaum perempuan saat itu terus bergerak memanfaatkan gejolak politik di tengah revolusi yang mengusung isu liberty, equality dan fratenity. Pada bulan oktober 1789 perempuan – perempuan pasar di Perancis berjalan dari Versailles yang diikuti oleh pasukan keamanan nasional. Roti hilang dari pasaran, para perempuan miskin kemudian melakukan aksi masa  menuntut Raja agar mengontrol harga dan konsumsi dan  menyediakan roti murah bagi rakyat.  Di Perancis. Saat itu masyarakat terpecah menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok moderat yang masih menghendaki Konsitusi Monarki dan kelompok radikal yang mengingikan Monariki berakhir. Gerakan perempuan aktif mendukung kelompok radikal yang mendukung ide-ide Republik, walaupun kemudian akhirnya mereka terlibat dalam pertikaian politik antar faksi-faksi yang ada. Dan akhirnya pada tahun 1792, kaum perempuan memperoleh hak untuk bisa  bercerai dengan suaminya.[7]
            Pada awal abad 20 “Feminisme” digunakan di Amerika dan Eropa untuk mendeskripsikan elemen khusus dalam pergerakan perempuan yang menekankan pada keistimewaaan” dan perbedaan perempuan, dari pada mencari kesetaraan. Feminisme digunakan untuk mendeskripsikan tidak hanya kampanye politik untuk pemilihan umum tetapi juga hak ekonomi dan sosial, seperti  pembayaran yang setara (equal pay) sampai KB atau (birth control). Dari sekitar perang dunia I, beberapa perempuan muda meyakinkan  bahwa feminisme saja tidak cukup, kemudian mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai feminis sosialis. Kaum sosialis perempuan yang lain menentang feminisme. Mereka melihat feminisme hanya mengespresikan secara eklusif kepentingan perempuan kelas menengah dan professional.[8]
            Berdirinya gerakan Feminisme di Eropa merupakan salah satu dampak dari ketertindasan perempuan dalam dominasi peran gereja, bagaimana perempuan diposisikan dalam suatu derajat yang rendah. Kaum Feminisme ini menyatakan dirinya sebagai gerekan pembebasan perempuan. Namun hingga kini Gerakan Feminisme itu masih tetap ada dan bahkan meluas sampai kepada indonesia. Jika dulu gerakan ini hanya bertujuan untuk mendapatkan hak dan kebebasan perempuan, namun pada awal abad 20 Feminisme mengusung konsep gender equality sebagai gagasan utama dalam gerakan mereka.
            Salah satu efek dari paham relativisme yang dianut oleh kaum feminis, adalah  menyuburkan praktik-praktik homoseksual di dalam  masyarakat,  karena apa yang dulu dianggap salah, kini  dengan dalih penghormatan terhadap HAM,  telah berubah menjadi sebuah kebenaran.  Di Barat, pasangan lesbi kini dapat menikah secara legal dan diakui oleh negara secara sah.  Para feminis radikal berpendapat dominasi laki-laki berpusat dari seksualitas, karena dalam hubungan heteroseksual, perempuan menjadi pihak yang tersubordinarsi   Tetapi dengan menjadi lesbi, perempuan  memiliki kontrol yang sama dan tidak ada dominasi dalam hubungan seksual diantara mereka . Hal itu tertuang dalam pernyataaan Charlotte Bunch (1978).
            Melihat latar belakang sejarah, konsep dan isu-isu  feminisme, perempuan di dunia Islam sebenarnya tak perlu silau oleh pemikiran-pemikiran kaum feminis. Isu hak dan kesetaraan yang diagung-agungkan barat,  muncul karena penolakan perempuan barat terhadap dokrin gereja yang memarginalkan kaum perempuan selama berabad-abad.  Doktrin gereja telah pengekangan hak-hak perempuan untuk mengembangkan diri dan memiliki akses  kepada pendidikan. Begitu juga dengan hak-hak sipil perempuan yang terpinggirkan karena perempuan dipandang sebagai masyarakat kelas dua.  Tentunya hal-hal tersebut tidak ditemui dalam ajaran dan doktrin-doktrin Islam.  Agama  Islam sejak abad ke-7 M telah menepatkan perempuan dalam posisi yang begitu mulia, seperti pendapat beberapa wanita Barat yang memeluk agama Islam karena tertarik oleh keadilan dan kemuliaannya. Annie Besants berkata tentang wanita Islam, ”Sesungguhnya kaum wanita dalam naungan Islam jauh lebih merdeka dibandingkan dalam mazhab-mazhab lain. Islam lebih melindungi hak-hak wanita daripada agama Masehi. Sementara kaum wanita Inggris tidak memperoleh hak kepemilikan-kecuali sejak 20 tahun yang lalu-Islam telah memberikan sejak saat pertama.”[9]





[1] Rowbotham, Sheila,  Women in Movement: Feminism and social action, Rountledge, New York, 1992, hal. 11.
[2] Suki Ali,et all (ed),  Global Feminist Politics ; Identities in Changing World, Routledge, New York, 2000, hal. 5.
[3] Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam, Gema Insani Press, 2004, hal: 158-159 
[4] McKay, John P, Bennet D. Hill and John Buckler,  A History of Western Society, Second Edition, Houghton Mifflin Company, Boston, 1983, hal. 437 s/d 541
[5] Rowbotham, Sheila,  Women in Movement: Feminism and social action, Rountledge, New York, 1992, hal. 8.
[6] Ibid, hal 19.
[7] Ibid, hal 27-29.
[8] Rowbotham, Sheila, hal. 9.
[9] Ahmad Muhammad Jamal, Jejak  Sukses 30 Wanita Beriman, Pustakan Progressif, Surabaya, 1991, hal.1.

1 comment: