Oleh: Dina Farhana
Feminisme
adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan
keadilan hak dengan pria. Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau
perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori
kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak
perempuan.
Sebelum feminis digunakan sebagai
ungkapan umum dalam bahasa inggris,
kata-kata seperti “womanism, the woman movement, atau woman questions telah digunakan
terlebih dulu.[1]
Kata “feminist” pertama kali ditemukan pada awal abad ke 19 oleh seorang
sosialis berkebangsaan Perancis, yaitu Charles Fourier. Ide yang diusungnya
adalah transformasi perempuan oleh masyarakat berdasarkan saling ketergantungan
dan kerjasama, bukan pada kompetisi dan mencari keuntungan. Pemikirannnya ini mempengaruhi banyak
perempuan dan mengkombinasikan antara emansipasi pribadi dengan emansipasi sosial.
Gerakan feminis pada mulanya adalah gerak sekelompok aktivis perempuan barat,
yang kemudian lambat laun menjadi gelombang akademik di
universitas-universitas, termasuk
negara-negara Islam, melalui program ”woman studies”. Gerakan perempuan telah mendapat “restu” dari
Perserikatan Bangsa Bangsa perempuan dengan dikeluarkannya CEDAW (Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Againts Women). Negara dan lembaga serta
organisasi-organisasi di dunia terus mendukung gerakan-gerakan perempuan ,
walaupun menurut Khan dukungan tersebut
memiliki efek negatif bagi gerakan perempuan (baca-feminisme) karena aktivis
perempuan telah kehilangan sudut pandang politik (political edge) dan juga
untuk beberapa kasus telah kehilangan komitmennya.[2]
Untuk
mengetahui bagaimana feminisme itu lahir dan berkembang, kita harus melihat
kondisi Barat (dalam hal ini Eropa) pada abad pertengahan, yaitu masa ketika
suara-suara feminis mulai terdengar. Pada Abad pertengahan, gereja berperan
sebagai sentral kekuatan, dan Paus sebagai pemimpin gereja, menempatkan dirinya
sebagai pusat dan sumber kekuasaan. Sampai abad ke-17, gereja masih tetap
mempertahankan posisi hegemoninya, sehingga berbagai hal yang dapat menggoyahkan
otoritas dan legitimasi gereja, dianggap seabagai heresy dan dihadapkan ke
Mahkamah Inkuisisi.[3]
Menurut McKay, pada dekade 1560 dan 1648 merupakan
penurunan status perempuan di masyarakat Eropa. Reformasi yang dilakukan para
pembaharu gereja tidak banyak membantu nasib perempuan. Studi-studi spiritual kemudian dilakukan untuk memperbaharui konsep Saint Paul’s tentang perempuan, yaitu
perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan merupakan makhluk kelas dua di dunia
ini. Walaupun beberapa pendapat pribadi
dan hukum publik yang berhubungan degan status perempuan di barat cukup
bervariasi, tetapi terdapat bukti-bukti kuat yang mengindikasikan bahwa
perempuan telah dianggap sebagai makluk inferior. Sebagian besar perempuan diperlakukan sebagai
anak kecil-dewasa yang bisa digoda atau dianggap sangat tidak rasional. Bahkan
pada tahun 1595, seorang profesor dari Wittenberg University melakukan
perdebatan serius mengenai apakah
perempuan itu manusia atau bukan.
Pelacuran merebak dan dilegalkan oleh negara. Perempuan menikah di abad
pertengahan juga tidak memiliki hak untuk bercerai dari suaminya dengan alasan
apapun.[4]
Latar
belakang yang kelam memicu semangat para perempuan-perempuan yang ingin
terbebas dari kekangan gereja maupun pihak laki-laki yang menempatkan perempuan
dalam derajat yang rendah. Selama masa abad pertengahan aktifitas perempuan
juga sangat dibatasi. Termasuk salah satunya dalam hal intelektual. Maka bisa
dilihat bahwa pada abad pertengahan jarang sekali ditemukan seorang ilmuwan
perempuan, kebanyakan yang dikenal adalah ilmuwan laki-laki. Hal ini tidak
terlepas dari dominasi gereja yang menggap perempuan sebagai sesuatu yang hina.
Revolusi yang terjadi di Eropa membuat gerakan
perempuan mendapatkan kesempatan untuk ikut menyuarakan kepentingan mereka.
Pada Revolusi Puritan di Inggris Raya
pada abad 17, kaum perempuan
puritan berusaha untuk mendefinisikan
ulang area aktivitas perempuan dengan
menarik legitimasi dari doktrin-doktrin yang menjadi otoritas bapak, laki-laki,
pendeta dan pemimpin politik. Revolusi Puritan telah menghasilkan ferment dimana semua bentuk hierarki ditulis oleh
semua anggota sekte yang radikal di Inggris Raya.[5] Pada
tahun 1890, kata feminis digunakan untuk
mendeskripsikan kampanye perempuan pada
pemilihan umum ketika banyak organisasi telah didirikan di Inggris untuk menyebarkan ide liberal
tentang hak individual perempuan.[6]
Revolusi Perancis (1789) juga telah memberi pengaruh besar pada gerakan
perempuan di Barat. Kaum perempuan saat itu terus bergerak memanfaatkan gejolak
politik di tengah revolusi yang mengusung isu liberty, equality dan fratenity.
Pada bulan oktober 1789 perempuan – perempuan pasar di Perancis berjalan dari
Versailles yang diikuti oleh pasukan keamanan nasional. Roti hilang dari
pasaran, para perempuan miskin kemudian melakukan aksi masa menuntut Raja agar mengontrol harga dan
konsumsi dan menyediakan roti murah bagi
rakyat. Di Perancis. Saat itu masyarakat
terpecah menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok moderat yang masih
menghendaki Konsitusi Monarki dan kelompok radikal yang mengingikan Monariki
berakhir. Gerakan perempuan aktif mendukung kelompok radikal yang mendukung
ide-ide Republik, walaupun kemudian akhirnya mereka terlibat dalam pertikaian
politik antar faksi-faksi yang ada. Dan akhirnya pada tahun 1792, kaum
perempuan memperoleh hak untuk bisa
bercerai dengan suaminya.[7]
Pada
awal abad 20 “Feminisme” digunakan di Amerika dan Eropa untuk mendeskripsikan
elemen khusus dalam pergerakan perempuan yang menekankan pada keistimewaaan”
dan perbedaan perempuan, dari pada mencari kesetaraan. Feminisme digunakan
untuk mendeskripsikan tidak hanya kampanye politik untuk pemilihan umum tetapi
juga hak ekonomi dan sosial, seperti
pembayaran yang setara (equal pay) sampai KB atau (birth control). Dari
sekitar perang dunia I, beberapa perempuan muda meyakinkan bahwa feminisme saja tidak cukup, kemudian
mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai feminis sosialis. Kaum sosialis
perempuan yang lain menentang feminisme. Mereka melihat feminisme hanya
mengespresikan secara eklusif kepentingan perempuan kelas menengah dan
professional.[8]
Berdirinya
gerakan Feminisme di Eropa merupakan salah satu dampak dari ketertindasan
perempuan dalam dominasi peran gereja, bagaimana perempuan diposisikan dalam
suatu derajat yang rendah. Kaum Feminisme ini menyatakan dirinya sebagai
gerekan pembebasan perempuan. Namun hingga kini Gerakan Feminisme itu masih
tetap ada dan bahkan meluas sampai kepada indonesia. Jika dulu gerakan ini hanya
bertujuan untuk mendapatkan hak dan kebebasan perempuan, namun pada awal abad
20 Feminisme mengusung konsep gender equality sebagai gagasan utama
dalam gerakan mereka.
Salah
satu efek dari paham relativisme yang dianut oleh kaum feminis, adalah menyuburkan praktik-praktik homoseksual di
dalam masyarakat, karena apa yang dulu dianggap salah, kini dengan dalih penghormatan terhadap HAM, telah berubah menjadi sebuah kebenaran. Di Barat, pasangan lesbi kini dapat menikah secara
legal dan diakui oleh negara secara sah.
Para feminis radikal berpendapat dominasi laki-laki berpusat dari
seksualitas, karena dalam hubungan heteroseksual, perempuan menjadi pihak yang
tersubordinarsi Tetapi dengan menjadi
lesbi, perempuan memiliki kontrol yang
sama dan tidak ada dominasi dalam hubungan seksual diantara mereka . Hal itu
tertuang dalam pernyataaan Charlotte Bunch (1978).
Melihat
latar belakang sejarah, konsep dan isu-isu
feminisme, perempuan di dunia Islam sebenarnya tak perlu silau oleh
pemikiran-pemikiran kaum feminis. Isu hak dan kesetaraan yang diagung-agungkan
barat, muncul karena penolakan perempuan
barat terhadap dokrin gereja yang memarginalkan kaum perempuan selama
berabad-abad. Doktrin gereja telah
pengekangan hak-hak perempuan untuk mengembangkan diri dan memiliki akses kepada pendidikan. Begitu juga dengan hak-hak
sipil perempuan yang terpinggirkan karena perempuan dipandang sebagai
masyarakat kelas dua. Tentunya hal-hal
tersebut tidak ditemui dalam ajaran dan doktrin-doktrin Islam. Agama
Islam sejak abad ke-7 M telah menepatkan perempuan dalam posisi yang
begitu mulia, seperti pendapat beberapa wanita Barat yang memeluk agama Islam
karena tertarik oleh keadilan dan kemuliaannya. Annie Besants berkata tentang
wanita Islam, ”Sesungguhnya kaum wanita dalam naungan Islam jauh lebih merdeka
dibandingkan dalam mazhab-mazhab lain. Islam lebih melindungi hak-hak wanita
daripada agama Masehi. Sementara kaum wanita Inggris tidak memperoleh hak
kepemilikan-kecuali sejak 20 tahun yang lalu-Islam telah memberikan sejak saat
pertama.”[9]
[1] Rowbotham,
Sheila, Women in Movement: Feminism and
social action, Rountledge, New York, 1992, hal. 11.
[2] Suki Ali,et all (ed), Global Feminist Politics ; Identities in
Changing World, Routledge, New York, 2000, hal. 5.
[3] Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam, Gema Insani Press, 2004, hal: 158-159
[4] McKay, John P, Bennet D. Hill and John Buckler, A History of Western Society, Second Edition, Houghton Mifflin Company, Boston, 1983, hal. 437 s/d 541
[4] McKay, John P, Bennet D. Hill and John Buckler, A History of Western Society, Second Edition, Houghton Mifflin Company, Boston, 1983, hal. 437 s/d 541
[5] Rowbotham, Sheila, Women in Movement: Feminism and social
action, Rountledge, New York, 1992, hal. 8.
[6] Ibid,
hal 19.
[8] Rowbotham,
Sheila, hal. 9.
[9] Ahmad
Muhammad Jamal, Jejak Sukses 30
Wanita Beriman, Pustakan Progressif, Surabaya, 1991, hal.1.
Bagus,,lanjutkan ya
ReplyDelete